Di detik-detik
terakhirku sebelum melepas masa-sama D III di STAN, aku mulai memikirkan banyak
hal. Mimpi-mimpi yang dulu pernah terabaikan dan terkubur dalam-dalam
satu-persatu mulai muncul ke permukaan. Semuanya berebut untuk melintasi alam
pikiranku, menyita perhatianku, dan memalingkan pandanganku. Ada rasa yang
bergejolak ketika mimpi-mimpi itu menghampiriku meminta pertanggung jawabanku.
Sekarang mereka seperti meminta tumbal terhadap sikapku selama ini yang telah
mengkerdilkan mereka. Aku menghela nafas sejenak hingga berhenti di satu kata.
Menulis.
Bukannya tenang,
kata itu membuatku berpikir lebih keras. Aku berada di antara rasa takut,
bingung, dan panik. Aku seperti baru saja mendengar sesatu yang tabu. Sesuatu
yang tak boleh aku raba atau pun aku ucap. Sesuatu yang aku tak punya hak
tentangnya dan tak pantas untuknya. Oh Tuhan, kenapa orang yang sangat malas
membaca dan sangat jarang menulis tiba-tiba memiliki keingnan untuk ingin
menyentuh kata ini. Menulis. Lantas apa
yang pantas untuk aku tulis?
Tak berhenti
sampai di situ. Masih di mimpi yang sama, pikirikanku pun dibuat makin liar
dengan adanya nafsu untuk menjadikan tulisanku sebagai bagian dari karya yang
akan dikonsumsi juri. Ya, aku ingin mengikuti lomba menulis. Menulis pun bukan
sembarang lomba menulis. Aku memilih lomba esai non fiksi yang notabene
diperuntukkan bagi mereka yang memang memahami akar permasalahan dari topik
yang ditawarkan.
Aku merasa
pikiran ini begitu lancang. Aku takut hal ini hanya sebatas nafsu berkedok
mimpi yang harus aku kejar. Aku takut usaha ini hanya mencari angka satu, dua,
atau tiga untuk dibanggakan yang akan mengerdilkan esensi dari proses menulis
itu sendiri. Menulis adalah menuangkan dan menyajikan apa yang ada dalam
pikiran seseorang. Kualitas tulisan tergantung apa dan berapa banyak tulisan
yang seseorang baca serta bagaimana seseorang melatih dirinya untuk
terus-menerus berkarya dalam tulisan. Menulis berkualitas butuh proses. Menulis
berkualitas bukan produk karbitan yang seketika itu juga menjadi karya bagus.
Layaknya belajar, penyempurnaan tulisan terjadi tiap kali menulis.
Oh tidak. Aku
merasa makin lancang terhadap kata ini dengan berbicara panjang lebar mengenai
proses, esensi, dan bahkan, menganalogikan kegiatan menulis dengan sesuatu
hal. Tahu apa aku ini? Yasudahlah. Ini
cuma mimpi. Mimpi itu gratis. Semua orang berhak punya mimpi. Semua orang
berhak meliarkan mimpinya menjadi sesuatu hal yang konkrit. Layaknya air, mimpi
juga butuh wadah untuk menampungnya. Sudah terlalu lama aku menampung
mimpi-mimpi ini dalam benakku, Sudah saatnya aku menampungnya dalam tulisan.
Inilah saatnya aku menulis.
Tangerang Selatan, 6 Juni 2013
Tangerang Selatan, 6 Juni 2013
No comments:
Post a Comment