Thursday, June 13, 2013

Meniti Mimpi di Dunia Hitam di Atas Putih

Di detik-detik terakhirku sebelum melepas masa-sama D III di STAN, aku mulai memikirkan banyak hal. Mimpi-mimpi yang dulu pernah terabaikan dan terkubur dalam-dalam satu-persatu mulai muncul ke permukaan. Semuanya berebut untuk melintasi alam pikiranku, menyita perhatianku, dan memalingkan pandanganku. Ada rasa yang bergejolak ketika mimpi-mimpi itu menghampiriku meminta pertanggung jawabanku. Sekarang mereka seperti meminta tumbal terhadap sikapku selama ini yang telah mengkerdilkan mereka. Aku menghela nafas sejenak hingga berhenti di satu kata. Menulis.

Bukannya tenang, kata itu membuatku berpikir lebih keras. Aku berada di antara rasa takut, bingung, dan panik. Aku seperti baru saja mendengar sesatu yang tabu. Sesuatu yang tak boleh aku raba atau pun aku ucap. Sesuatu yang aku tak punya hak tentangnya dan tak pantas untuknya. Oh Tuhan, kenapa orang yang sangat malas membaca dan sangat jarang menulis tiba-tiba memiliki keingnan untuk ingin menyentuh kata ini.  Menulis. Lantas apa yang pantas untuk aku tulis?

Tak berhenti sampai di situ. Masih di mimpi yang sama, pikirikanku pun dibuat makin liar dengan adanya nafsu untuk menjadikan tulisanku sebagai bagian dari karya yang akan dikonsumsi juri. Ya, aku ingin mengikuti lomba menulis. Menulis pun bukan sembarang lomba menulis. Aku memilih lomba esai non fiksi yang notabene diperuntukkan bagi mereka yang memang memahami akar permasalahan dari topik yang ditawarkan.

Aku merasa pikiran ini begitu lancang. Aku takut hal ini hanya sebatas nafsu berkedok mimpi yang harus aku kejar. Aku takut usaha ini hanya mencari angka satu, dua, atau tiga untuk dibanggakan yang akan mengerdilkan esensi dari proses menulis itu sendiri. Menulis adalah menuangkan dan menyajikan apa yang ada dalam pikiran seseorang. Kualitas tulisan tergantung apa dan berapa banyak tulisan yang seseorang baca serta bagaimana seseorang melatih dirinya untuk terus-menerus berkarya dalam tulisan. Menulis berkualitas butuh proses. Menulis berkualitas bukan produk karbitan yang seketika itu juga menjadi karya bagus. Layaknya belajar, penyempurnaan tulisan terjadi tiap kali menulis.

Oh tidak. Aku merasa makin lancang terhadap kata ini dengan berbicara panjang lebar mengenai proses, esensi, dan bahkan, menganalogikan kegiatan menulis dengan sesuatu hal.  Tahu apa aku ini? Yasudahlah. Ini cuma mimpi. Mimpi itu gratis. Semua orang berhak punya mimpi. Semua orang berhak meliarkan mimpinya menjadi sesuatu hal yang konkrit. Layaknya air, mimpi juga butuh wadah untuk menampungnya. Sudah terlalu lama aku menampung mimpi-mimpi ini dalam benakku, Sudah saatnya aku menampungnya dalam tulisan. Inilah saatnya aku menulis. 

Tangerang Selatan, 6 Juni 2013

No comments:

Post a Comment