Thursday, September 6, 2018

My first War with Acne



I have been fighting with acne since in the 5th grade of elementary school. My first acne was on my left cheek. A big one and eye-catching enough to get people’s attention. My mom told me to put cream (it was k*elly p*earl) on it. Later I knew that it was hormonal acne. But it didn't stop me from trying another skin products.

I was that victim of advertisement who believed that beautiful skin was of which had fair complexion. I even trust somebody who said that I could put whitening body lotion on my face to get brighter skin face. And suddenly my face felt burnt at night. I put ice cube on my face but it couldn’t help.

Since elementary school I had tried some face (day) cream and some face wash. I just followed what people wear on their face or what seemed fancy on TV advertisement. I didn’t know how to start using skincare or learned what my skin actually needed.

Then came my puberty when my skin looked better and became glowing. I was in high school. But when I was in the last year of senior high, my hormonal acne bothered me. I was a bit stressed out since I was preparing for national exam and college enrollment test.

Then the worst nightmare of my skin finally happened. It was my worst breakout. My skin became dull, sometimes oily, and pimples everywhere. I gave up on curing myself so I went to see doctor. Until the day I wrote on this blog, I had meet 6 different doctors (some are dermatologist, the rest I still doubt it) to cure my acne caused of hormonal or skincare usage. I had had hormonal injection, drinking zinc pills, laser for acne, etc.

In this year (2018) finally I have courage to stop using doctor skincare product. Since I know number 1 rule for beauty clinic skincare product is you have to consult to your doctor regularly which I can’t do anymore since I currently live away from big cities where the clinic branch lies.

And the journey begins…

p.s. I'll share my progress on my next post

Tuesday, September 17, 2013

Student Center Kala Malam

Berangkat dari kosan
Menyusuri lorong
Jalan setapak ditemani diam
Tak hentinya bunyi dan percakapan malam bergaung di kepalaku
Ku mohon diamlah sejenak
Kembali ku lanjutkan langkahku
Kanan dan kiri telah ku sisir
Tak ada siapa-siapa
Ternyata mataku dikelabui potongan gambar yang pernah ada
Ku berjalan lagi
Diam
Ku gelengkan kepalaku
Itu hanya kenangan.

Tangerang Selatan, 8 Mei 2013
Kau tertutup
Diam
Tersembunyi semua kata dalam kalbumu
Gerakmu hanya menari dalam benakmu
Terbatas dalam ruang dan waktu

Tapi itu dulu
Dulu sekali
Kini kau berubah
Tersamarkan lintang yang pernah kau buat
Hanya katulistiwa yang membawamu pergi

Saturday, June 22, 2013

Menunggu

Kosong,
Tanpa kata sedikitpun menyelinap
Dinding-dinding pun membisu
Masih,
Terpaku menatap kosong
Dalam kesunyian yang nyaring
Terasa malam yang semakin pekat menghakimi
Hanyut dalam gelap
Belenggu ini masih begitu kuat
Semili pun tak mampu bergeser
Mematung
Menunggu eksekusi sang waktu

23 Juni 2013

Thursday, June 13, 2013

Cinta yang Paling Menyembuhkan

“Mencintai makhluk itu sangat berpeluang menemui kehilangan.
Kebersamaan dengan makhluk juga berpeluang mengalami perpisahan.
Hanya cinta kepada Allah, tidak.
Jika kau mencintai seseorang, ada dua kemungkinan diterima dan ditolak.
Jika ditolak, pasti sakit rasanya.
Namun jika kau mencintai Allah, pasti diterima.
Jika kau mencintai Allah, engkau tidak akan pernah merasa kehilangan.
Tidak akan ada yang merebut Allah yang kau cintai itu dari hatimu.
Tidak akan ada yang merampas Allah.
Jika kau bermesraan dengan Allah, hidup bersama Allah, kau tidak akan pernah berpisah denganNya.
Allah akan setia menyertaimu.
Allah tidak akan berpisah darimu.
Kecuali kamu sendiri yang berpisah dariNya.
Cinta yang paling membahagiakan dan menyembuhkan adalah cinta kepada Allah ‘Azza wa Jalla.”
Khairul Azzam (Ketika Cinta Bertasbih 1)

Aku lupa sumber yang pertama kali post tulisan ini. Tapi aku menemukannya di tumblr.

Meniti Mimpi di Dunia Hitam di Atas Putih

Di detik-detik terakhirku sebelum melepas masa-sama D III di STAN, aku mulai memikirkan banyak hal. Mimpi-mimpi yang dulu pernah terabaikan dan terkubur dalam-dalam satu-persatu mulai muncul ke permukaan. Semuanya berebut untuk melintasi alam pikiranku, menyita perhatianku, dan memalingkan pandanganku. Ada rasa yang bergejolak ketika mimpi-mimpi itu menghampiriku meminta pertanggung jawabanku. Sekarang mereka seperti meminta tumbal terhadap sikapku selama ini yang telah mengkerdilkan mereka. Aku menghela nafas sejenak hingga berhenti di satu kata. Menulis.

Bukannya tenang, kata itu membuatku berpikir lebih keras. Aku berada di antara rasa takut, bingung, dan panik. Aku seperti baru saja mendengar sesatu yang tabu. Sesuatu yang tak boleh aku raba atau pun aku ucap. Sesuatu yang aku tak punya hak tentangnya dan tak pantas untuknya. Oh Tuhan, kenapa orang yang sangat malas membaca dan sangat jarang menulis tiba-tiba memiliki keingnan untuk ingin menyentuh kata ini.  Menulis. Lantas apa yang pantas untuk aku tulis?

Tak berhenti sampai di situ. Masih di mimpi yang sama, pikirikanku pun dibuat makin liar dengan adanya nafsu untuk menjadikan tulisanku sebagai bagian dari karya yang akan dikonsumsi juri. Ya, aku ingin mengikuti lomba menulis. Menulis pun bukan sembarang lomba menulis. Aku memilih lomba esai non fiksi yang notabene diperuntukkan bagi mereka yang memang memahami akar permasalahan dari topik yang ditawarkan.

Aku merasa pikiran ini begitu lancang. Aku takut hal ini hanya sebatas nafsu berkedok mimpi yang harus aku kejar. Aku takut usaha ini hanya mencari angka satu, dua, atau tiga untuk dibanggakan yang akan mengerdilkan esensi dari proses menulis itu sendiri. Menulis adalah menuangkan dan menyajikan apa yang ada dalam pikiran seseorang. Kualitas tulisan tergantung apa dan berapa banyak tulisan yang seseorang baca serta bagaimana seseorang melatih dirinya untuk terus-menerus berkarya dalam tulisan. Menulis berkualitas butuh proses. Menulis berkualitas bukan produk karbitan yang seketika itu juga menjadi karya bagus. Layaknya belajar, penyempurnaan tulisan terjadi tiap kali menulis.

Oh tidak. Aku merasa makin lancang terhadap kata ini dengan berbicara panjang lebar mengenai proses, esensi, dan bahkan, menganalogikan kegiatan menulis dengan sesuatu hal.  Tahu apa aku ini? Yasudahlah. Ini cuma mimpi. Mimpi itu gratis. Semua orang berhak punya mimpi. Semua orang berhak meliarkan mimpinya menjadi sesuatu hal yang konkrit. Layaknya air, mimpi juga butuh wadah untuk menampungnya. Sudah terlalu lama aku menampung mimpi-mimpi ini dalam benakku, Sudah saatnya aku menampungnya dalam tulisan. Inilah saatnya aku menulis. 

Tangerang Selatan, 6 Juni 2013

Berawal dari Obrolan Malam

“So, what’s your goal?”

Baru saja aku menanyakan cita-cita salah seorang temanku, Kak Sam. Sebenarnya di kampus dia dipanggil Sam oleh teman sebayaku. Namun dia adalah seniorku ketika duduk di bangku SMP sehingga aku tetap memanggilnya ‘Kak’. Meski berasal dari SMP yang sama, aku baru mengenalnya ketika duduk di bangku SMA di salah satu kompetisi debat. Saat itu kami berada di SMA yang berbeda. Dalam perjalanan pulang dari suatu tempat untuk sekadar berbincang dan menyerupun secangkir kopi, aku menemukan banyak hal menarik dari pembicaraan malam ini.

Aku senang sekali bisa menghabiskan waktu kurang lebih sejam berbincang ngalur-ngidul dengan dengan topik yang tidak terfokus di satu titik bareng Kak Sam. Secara pribadi, menurutku dia punya konsep tersendiri tentang hidup dan punya wawasan yang cukup luas. Di saat pikiranku sedang terbawa arus ke sana kemari dia bisa memberikan sudut pandang dan meramal gambaran yang lebih jauh dari opsi ide yang tiada hentinya muncul di kepalaku saat ini.

Di satu titik, aku sangat ingin menjadi penulis. Di lain waktu, aku tertarik dengan dunia fotografi. Di sisi lain, aku melihat seorang jurnalis adalah sosok yang sangat keren (entah mengapa, di mataku seorang jurnalis punya kharisma tersendiri). Di sisi lain.. Ah, sudahlah. Terlalu banyak ide yang tumpah-tumpah di pikiranku. Aku cuma takut tak ada satu pun yang terealisasi hanya karena aku tak mampu fokus di satu titik. Aku merasa pikiranku ini belum stabil dalam menentukan prioritasnya.

Untung di tengah kondisi pikiranku yang terombang-ambing ini Kak Sam masih mau meluangkan waktunya untuk mendengarkan celotehku yang mengalir tanpa spasi. Tuhan, semoga dia gak kapok menemui orang seperti aku, heheh.. Tapi sungguh, pertemuan malam ini bukanlah ide yang buruk. Kak Sam memberiku saran untuk selalu membawa jurnal kemana pun aku berada. Menurut dia, hal itu bakal sangat membantu ketika ada ide, quote, atau hal penting lainnya yang terlintas di pikiranmu yang perlu di abadikan agar tidak hilang dan menguap begitu saja. Bener juga ya. Terkadang ada hal-hal yang menurutku menarik ku lewatkan berlalu begitu saja hanya karena kegiatan membawa-jurnal-lalu-mencatatnya ku sepelekan begitu saja.

“Kalau di koran ada gambar menarik, saya gunting baru saya tempel ki.”

Kurang lebih begitu lah Kak Sam menceritakan mengenai potongan-potongan gambar yang dia tempel di beberapa halaman pertama buku jurnalnya. Menarik. Dengan begitu kita bisa memvisualisasikan impian-impian kita dengan lebih jelas setiap kali membuka buku jurnal tersebut. Memang ini hal sederhana dan mungkin sudah sering kita lihat tapi belum tentu kita pernah mempraktikkannya. Namun percayalah, setiap perbedaan kecil dalam hal kecil maupun besar yang kita lakukan akan sangat berpengaruh dalam kehidupan kita. Aku sangat meyakini hal-hal seperti memulai-dari-yang-kecil. Dengan begitu, aku bisa merebut kembali kepercayaan diriku untuk mengejar semua mimpi-mimpiku yang telah curi start mendahuluiku.

Friday, June 14, 2013

2:12:03 AM