Berangkat dari kosan
Menyusuri lorong
Jalan setapak ditemani diam
Tak hentinya bunyi dan percakapan malam bergaung di kepalaku
Ku mohon diamlah sejenak
Kembali ku lanjutkan langkahku
Kanan dan kiri telah ku sisir
Tak ada siapa-siapa
Ternyata mataku dikelabui potongan gambar yang pernah ada
Ku berjalan lagi
Diam
Ku gelengkan kepalaku
Itu hanya kenangan.
Tangerang Selatan, 8 Mei 2013
Tuesday, September 17, 2013
Saturday, June 22, 2013
Menunggu
Kosong,
Tanpa kata sedikitpun menyelinap
Dinding-dinding pun membisu
Masih,
Terpaku menatap kosong
Dalam kesunyian yang nyaring
Terasa malam yang semakin pekat menghakimi
Hanyut dalam gelap
Belenggu ini masih begitu kuat
Semili pun tak mampu bergeser
Mematung
Menunggu eksekusi sang waktu
23 Juni 2013
Thursday, June 13, 2013
Cinta yang Paling Menyembuhkan
“Mencintai makhluk itu sangat berpeluang menemui kehilangan.
Kebersamaan dengan makhluk juga berpeluang mengalami perpisahan.
Hanya cinta kepada Allah, tidak.
Jika kau mencintai seseorang, ada dua kemungkinan diterima dan ditolak.
Jika ditolak, pasti sakit rasanya.
Namun jika kau mencintai Allah, pasti diterima.
Jika kau mencintai Allah, engkau tidak akan pernah merasa kehilangan.
Tidak akan ada yang merebut Allah yang kau cintai itu dari hatimu.
Tidak akan ada yang merampas Allah.
Jika kau bermesraan dengan Allah, hidup bersama Allah, kau tidak akan pernah berpisah denganNya.
Allah akan setia menyertaimu.
Allah tidak akan berpisah darimu.
Kecuali kamu sendiri yang berpisah dariNya.
Cinta yang paling membahagiakan dan menyembuhkan adalah cinta kepada Allah ‘Azza wa Jalla.”
— Khairul Azzam (Ketika Cinta Bertasbih 1)
Aku lupa sumber yang pertama kali post tulisan ini. Tapi aku menemukannya di tumblr.
Kebersamaan dengan makhluk juga berpeluang mengalami perpisahan.
Hanya cinta kepada Allah, tidak.
Jika kau mencintai seseorang, ada dua kemungkinan diterima dan ditolak.
Jika ditolak, pasti sakit rasanya.
Namun jika kau mencintai Allah, pasti diterima.
Jika kau mencintai Allah, engkau tidak akan pernah merasa kehilangan.
Tidak akan ada yang merebut Allah yang kau cintai itu dari hatimu.
Tidak akan ada yang merampas Allah.
Jika kau bermesraan dengan Allah, hidup bersama Allah, kau tidak akan pernah berpisah denganNya.
Allah akan setia menyertaimu.
Allah tidak akan berpisah darimu.
Kecuali kamu sendiri yang berpisah dariNya.
Cinta yang paling membahagiakan dan menyembuhkan adalah cinta kepada Allah ‘Azza wa Jalla.”
— Khairul Azzam (Ketika Cinta Bertasbih 1)
Aku lupa sumber yang pertama kali post tulisan ini. Tapi aku menemukannya di tumblr.
Meniti Mimpi di Dunia Hitam di Atas Putih
Di detik-detik
terakhirku sebelum melepas masa-sama D III di STAN, aku mulai memikirkan banyak
hal. Mimpi-mimpi yang dulu pernah terabaikan dan terkubur dalam-dalam
satu-persatu mulai muncul ke permukaan. Semuanya berebut untuk melintasi alam
pikiranku, menyita perhatianku, dan memalingkan pandanganku. Ada rasa yang
bergejolak ketika mimpi-mimpi itu menghampiriku meminta pertanggung jawabanku.
Sekarang mereka seperti meminta tumbal terhadap sikapku selama ini yang telah
mengkerdilkan mereka. Aku menghela nafas sejenak hingga berhenti di satu kata.
Menulis.
Bukannya tenang,
kata itu membuatku berpikir lebih keras. Aku berada di antara rasa takut,
bingung, dan panik. Aku seperti baru saja mendengar sesatu yang tabu. Sesuatu
yang tak boleh aku raba atau pun aku ucap. Sesuatu yang aku tak punya hak
tentangnya dan tak pantas untuknya. Oh Tuhan, kenapa orang yang sangat malas
membaca dan sangat jarang menulis tiba-tiba memiliki keingnan untuk ingin
menyentuh kata ini. Menulis. Lantas apa
yang pantas untuk aku tulis?
Tak berhenti
sampai di situ. Masih di mimpi yang sama, pikirikanku pun dibuat makin liar
dengan adanya nafsu untuk menjadikan tulisanku sebagai bagian dari karya yang
akan dikonsumsi juri. Ya, aku ingin mengikuti lomba menulis. Menulis pun bukan
sembarang lomba menulis. Aku memilih lomba esai non fiksi yang notabene
diperuntukkan bagi mereka yang memang memahami akar permasalahan dari topik
yang ditawarkan.
Aku merasa
pikiran ini begitu lancang. Aku takut hal ini hanya sebatas nafsu berkedok
mimpi yang harus aku kejar. Aku takut usaha ini hanya mencari angka satu, dua,
atau tiga untuk dibanggakan yang akan mengerdilkan esensi dari proses menulis
itu sendiri. Menulis adalah menuangkan dan menyajikan apa yang ada dalam
pikiran seseorang. Kualitas tulisan tergantung apa dan berapa banyak tulisan
yang seseorang baca serta bagaimana seseorang melatih dirinya untuk
terus-menerus berkarya dalam tulisan. Menulis berkualitas butuh proses. Menulis
berkualitas bukan produk karbitan yang seketika itu juga menjadi karya bagus.
Layaknya belajar, penyempurnaan tulisan terjadi tiap kali menulis.
Oh tidak. Aku
merasa makin lancang terhadap kata ini dengan berbicara panjang lebar mengenai
proses, esensi, dan bahkan, menganalogikan kegiatan menulis dengan sesuatu
hal. Tahu apa aku ini? Yasudahlah. Ini
cuma mimpi. Mimpi itu gratis. Semua orang berhak punya mimpi. Semua orang
berhak meliarkan mimpinya menjadi sesuatu hal yang konkrit. Layaknya air, mimpi
juga butuh wadah untuk menampungnya. Sudah terlalu lama aku menampung
mimpi-mimpi ini dalam benakku, Sudah saatnya aku menampungnya dalam tulisan.
Inilah saatnya aku menulis.
Tangerang Selatan, 6 Juni 2013
Tangerang Selatan, 6 Juni 2013
Berawal dari Obrolan Malam
“So, what’s your goal?”
Baru saja aku menanyakan
cita-cita salah seorang temanku, Kak Sam. Sebenarnya di kampus dia dipanggil
Sam oleh teman sebayaku. Namun dia adalah seniorku ketika duduk di bangku SMP
sehingga aku tetap memanggilnya ‘Kak’. Meski berasal dari SMP yang sama, aku
baru mengenalnya ketika duduk di bangku SMA di salah satu kompetisi debat. Saat
itu kami berada di SMA yang berbeda. Dalam perjalanan pulang dari suatu tempat
untuk sekadar berbincang dan menyerupun secangkir kopi, aku menemukan banyak
hal menarik dari pembicaraan malam ini.
Aku senang sekali bisa
menghabiskan waktu kurang lebih sejam berbincang ngalur-ngidul dengan dengan topik
yang tidak terfokus di satu titik bareng Kak Sam. Secara pribadi, menurutku dia
punya konsep tersendiri tentang hidup dan punya wawasan yang cukup luas. Di
saat pikiranku sedang terbawa arus ke sana kemari dia bisa memberikan sudut
pandang dan meramal gambaran yang lebih jauh dari opsi ide yang tiada hentinya
muncul di kepalaku saat ini.
Di satu titik, aku sangat ingin
menjadi penulis. Di lain waktu, aku tertarik dengan dunia fotografi. Di sisi
lain, aku melihat seorang jurnalis adalah sosok yang sangat keren (entah
mengapa, di mataku seorang jurnalis punya kharisma tersendiri). Di sisi lain..
Ah, sudahlah. Terlalu banyak ide yang tumpah-tumpah di pikiranku. Aku cuma takut
tak ada satu pun yang terealisasi hanya karena aku tak mampu fokus di satu
titik. Aku merasa pikiranku ini belum stabil dalam menentukan prioritasnya.
Untung di tengah kondisi
pikiranku yang terombang-ambing ini Kak Sam masih mau meluangkan waktunya untuk
mendengarkan celotehku yang mengalir tanpa spasi. Tuhan, semoga dia gak kapok
menemui orang seperti aku, heheh.. Tapi sungguh, pertemuan malam ini bukanlah
ide yang buruk. Kak Sam memberiku saran untuk selalu membawa jurnal kemana pun
aku berada. Menurut dia, hal itu bakal sangat membantu ketika ada ide, quote, atau hal penting lainnya yang
terlintas di pikiranmu yang perlu di abadikan agar tidak hilang dan menguap
begitu saja. Bener juga ya. Terkadang ada hal-hal yang menurutku menarik ku
lewatkan berlalu begitu saja hanya karena kegiatan membawa-jurnal-lalu-mencatatnya
ku sepelekan begitu saja.
“Kalau di koran ada gambar menarik, saya gunting baru saya tempel ki.”
Kurang lebih begitu lah Kak Sam
menceritakan mengenai potongan-potongan gambar yang dia tempel di beberapa
halaman pertama buku jurnalnya. Menarik. Dengan begitu kita bisa memvisualisasikan
impian-impian kita dengan lebih jelas setiap kali membuka buku jurnal tersebut.
Memang ini hal sederhana dan mungkin sudah sering kita lihat tapi belum tentu
kita pernah mempraktikkannya. Namun percayalah, setiap perbedaan kecil dalam
hal kecil maupun besar yang kita lakukan akan sangat berpengaruh dalam
kehidupan kita. Aku sangat meyakini hal-hal seperti memulai-dari-yang-kecil.
Dengan begitu, aku bisa merebut kembali kepercayaan diriku untuk mengejar semua
mimpi-mimpiku yang telah curi start
mendahuluiku.
Friday, June 14, 2013
2:12:03 AM
Subscribe to:
Posts (Atom)